Seputarkuningan.com, RUANG BERITAKU – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo sudah berjalan. Namun hingga sejauh ini tidak ada keterlibatan dai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Padahal, keterlibatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dinilai jadi kunci untuk mensukseskan program itu dan mendongkrak perekonomian daerah.
Setiap orang mendapatkan anggaran makan tersebut sebesar Rp15 ribu. Besaran itu tidak semuanya untuk makanan bergizi namun dikurangi biaya lainnya. Seperti, dikurangi biaya sarana dan prasarana bangunan (baik sewa atau pun membangun baru) serta kebutuhan lainnya sebebesar Rp2 ribu. Ditambah lagi, biaya operasional Rp3 ribu sehingga sisa anggaran untuk makanan bergizi gratis hanya Rp10 ribu.
Bagaimana di Kabupaten Kuningan? Ternyata UMKM di Kabupaten Kuningan pun tidak merasakan enaknya “kue” MBG yang mencapai anggaran milyaran rupiah.
Kepala Bidang UMKM dan Perindustrian, Alvin Fitranda, mengungkapkan bahwa UMKM binaannya belum secara langsung terlibat dalam rantai pasok Program MBG. Dapur-dapur penyedia makanan dalam program tersebut diketahui lebih banyak menggunakan bahan baku dari vendor atau pihak ketiga.
“UMKM binaan kami lebih banyak memproduksi produk olahan makanan jadi, bukan bahan baku mentah seperti yang dibutuhkan dapur MBG,” kata Alvin kepada sejumlah awak media yang tergabung dalam RUANG BERITAKU (Ruang Diskusi Wartawan Bersuara Kita Kuningan), saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (15/10/2025).
Alvin menilai, program yang seharusnya bisa menjadi peluang ekonomi local justru lebih banyak dikerjakan oleh pihak luar. Akibatnya, manfaat ekonomi tidak sepenuhnya dirasakan oleh pelaku UMKM.
Menurut Alvin, peluang besar bagi UMKM lokal untuk masuk ke dalam ekosistem Program MBG, asalkan koordinasi yang baik dapat dibangun. Alvin mencatat, terdapat 32 UMKM yang memproduksi produk olahan berbasis ikan dan ayam, serta 329 UMKM produsen kue berbahan dasar telur ayam yang tersebar di wilayah Kabupaten Kuningan.
Alvin menyebut, pihak Diskopdagperin juga telah melakukan upaya untuk efektifitas dalam program MBG tersebut. Seperti misalnya, jika ada yang membuat MBG bisa lapor ke bagian UMKM dan Perindustrian dengan mengandalkan pegawai Non ASN. Namun, setelah berjalannya waktu, tidak ada lagi laporan yang masuk.
“Jadi sampai sekarang secara tertulis kami belum memiliki data MBG yang sudah berdiri. Ya, karena itu tadi tidak adanya koordinasi antar dinas atau lembaga terkait. Mereka datang ketika ada perlunya saja, setelah itu menghilang tanpa kabar apa pun,” tandas Alvin.
Alvin menekankan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan, termasuk dinas terkait, ahli gizi, dan media massa, dalam mendukung dan mengawasi pelaksanaan program secara adil dan akuntabel. Pihaknya bahkan siap menyusun roadmap keterlibatan UMKM dalam Program MBG jika ada arahan dari pihak pengelola dapur, serta siap terintegrasi ke dalam sistem digital MBG.
“Misalnya, kalau tahu jadwal menu sepekan ini apa saja, untuk pangan berprotein bisa memberdayakan UMKM yang memproduksi abon dan nugget olahan ikan. Yang snack bisa melibatkan UMKM yang memproduksi kue kering,” ujar Alvin.
Diskopdagperin Kuningan juga bisa membuka ruang pengaduan bagi UMKM yang merasa dirugikan dalam pelaksanaan program MBG, serta siap bekerja sama dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) untuk melindungi pelaku UMKM jika ada praktik tidak sehat.
Sayangnya, kurangnya koordinasi antar pihak terkait dalam pelaksanaan program MBG menjadi alasan utama mengapa implementasi program di lapangan masih terkesan kurang optimal. Kondisi ini tentu menjadi perhatian serius agar Program MBG dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi UMKM di Kabupaten Kuningan.
Alvin berharap, nantinya program MBG ini dapat menyentuh UMKM khususnya di Kabupaten Kuningan. (Elly Said)